Ciri-ciri
fisik Imam Malik ialah tinggi tegap, hidungnya mancung, matanya biru dan jenggotnya panjang.
Ayah Imam Malik ialah Anas
bin Malik bin Abi Amir. Sedangkan ibunya bernama Aliyah binti Syarik Al-Azdiyah.
Keduanya ialah orang Arab asli yang berasal dari Yaman. Diriwayatkan bahwa Imam Malik berada
dalam kandungan ibunya selama 2 tahun, ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.
Kakeknya, Malik bin Abi Amir, termasuk salah seorang pemuka dan ulama
tabi’in. Ia pernah meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Thalhah bin Ubaidillah, dan Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahuanha. Ia juga
menjadi salah seorang yang memikul jenazah Khalifah Utsman bin Affan ke
kuburannya.
Lingkungan Tumbuh Imam Malik
Lingkungan tempat Malik bin Anas tumbuh besar adalah kota dan tempat hijrah
Rasulullah. Pada masa itu kota Madinah sedang berada dalam periode Sunnah
(pengumpulan hadis-hadis Nabi). Pada masa itu pula terhimpun generasi pertama
dari kalangan para ulama dan fuqaha sahabat Nabi. Kemudian diteruskan oleh
penerus sepeninggal mereka. Sampai akhirnya datang masa Imam Malik bin Anas.
Imam Malik pun mendapatkan harta peninggalan dan warisan yang paling berharga
sepanjang masa, yakni ilmu.
Malik bin Anas berhasil menghafalkan Al-Qur’an pada usianya yang masih
belia. Setelah menghafal Al-Qur’an, ia beralih untuk menghafalkan hadis. Ia
mendapatkan dukungan dan motivasi untuk menghafalkan hadis-hadis Nabi dari
lingkungan tempat tinggalnya secara khusus dan kota Madinah secara umum. Karena
itulah, ia meminta rekomendasi kepada keluarganya untuk pergi ke
majelis-majelis para ulama guna menulis dan mempelajari ilmu. Ia juga pernah
menyampaikan pada ibunya bahwasanya ia ingin menulis ilmu. Lantas sang ibu
memakaikan pakaian yang paling baik dan memakaikannya sorban. Kemudian ia
berkata dengan anak kesayangannya itu, “Sekarang pergilah dan tulislah ilmu!”.
Sepanjang hidupnya Imam Malik terus
menetap di Madinah, serta tidak pernah pindah ke tempat lain kecuali ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, Imam Malik mendapat gelar Imam
Darul Hijrah.
Guru dan Murid Imam Malik
Imam Malik mempelajari berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, qiraat, dan hadis. Beliau mempelajari
ilmu fiqih pada Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan nama Rabi’ah Ar-Ra’y,
belajar qiraat Al-Qur’an pada Nafi’ bin Abi Nuaim, belajar hadis pada Nafi’ bin Sarjis (hamba sahaya Ibnu Umar), Sa’id Al-Maqburi,
Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu Al-Munkadir, Az-Zuhri, dan Abdullah bin
Dinar.
Ia juga belajar hadis pada Ishaq bin Abdullah,
Ayub bin Abi Tamimah, Al-Sakhtiyani, Ayub bin Hubaib Al-Juhni, Ibrahim bin
Uqbah dan banyak lagi dari kalangan tabi’in. Dari mereka Imam Malik
meriwayatkan hadis-hadis yang ditulisnya dalam kitab hadis monumentalnya Al-Muwaththa’.
Selain mempelajari ilmu, Imam Malik
juga mengajarkan ilmu-ilmu yang beliau pelajari dan beliau kembangkan. Beliau memiliki
banyak murid. Di antara murid beliau yang
masyhur adalah Imam Syafi’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, serta Yahya bin Yahya Al-Andalusi
(periwayat masyhur Al Muwaththa’).
Murid beliau yang lain ialah Al-Auza’i, Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Sufyan bin Uyainah,
Abu Hudzafah As-Sahmi, Az-Zubairi, dan lain-lain.
Karya Imam Malik
Salah
satu karya Imam Malik yang paling terkenal sampai sekarang adalah kitab Al-Muwaththa’. Al-Muwaththa
merupakan kitab yang berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Malik
serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabi’in. Kitab ini juga dilengkapi
dengan berbagai problem agama yang
merangkum ilmu hadis, ilmu fiqih dan sebagainya.
Semua
hadis yang tertulis di Al-Muwaththa’ adalah shahih, mengingat Imam Malik sendiri
sangat terkenal akan sifat tegasnya dalam menerima sebuah hadis. Dia sangat
berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat
yang meragukan. Dari 100.000 hadis yang dihafal dia, hanya 10.000 saja diakui
sah dan dari 10.000 hadis itu, hanya 5.000 saja yang disahkan shahih olehnya
setelah diteliti dan dibandingkan dengan Al-Quran. Imam Malik menghabiskan 40
tahun untuk menyusun kitab Al-Muwaththa’. Selama
masa itu beliau menunjukan kitab tersebut kepada tidak kurang dari 70 Ulama
fiqih yang ada di Madinah.
Imam
Syafi’i pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah Al-Qur`an
yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan
Imam Malik, inilah karangan para ulama muaqoddimin.”
Ibnu Abdil Barr mentakhrijkan dari
Umar bin Abdil Wahid, beliau menceritakan: "Kami membaca Al-Muwaththa’ di
hadapan Imam Malik dalam waktu 40 hari. Lalu Imam Malik berkata: ‘Kitab ini aku
susun selama 40 tahun, kalian mengambilnya hanya dalam waktu 40 hari. Betapa
sedikit apa yang kalian pahamkan daripadanya.’"
Ibnu Hazm mengatakan: "Al-Muwaththa’ adalah kitab yang menerangkan tentang fiqih dan hadis. Saya tidak melihat ada yang menandinginya."
Karakter dan Komentar Ulama Mengenai Imam
Malik
Sejak muda, Malik bin Anas senantiasa memberikan penghormatan yang
sempurna terhadap hadis-hadis Rasulullah. Tidaklah ia memperlajari hadis-hadis
tersebut melainkan dalan kondisi yang tenang dan kondusif, sebagai bentuk
pemuliaan terhadap hadis Nabi sekaligus upaya untuk menjaga keakuratannya. Oleh
sebab itu, ia tidak pernah mempelajari hadis-hadis tersebut dalam keadaan
berdiri, gelisah, atupun dalam keadaan terganggu, hingga tidak ada suatu pun
yang akan terlewat darinya.
Ibnu Abi Uwais berkata, “Adalah Malik apabila hendak menyampaikan sebuah
hadis, maka ia berwudhu terlebih dahulu lalu duduk di tengah permadaninya,
menyisir jenggotnya, memantapkan duduknya dengan penuh kewibawaan dan
kemuliaan. Setelah itu ia baru menyampaikannya.”
Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat
seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."
Imam Al-Bukhari berkata, “ Sanad yang paling sahih ialah dari Malik dari
Nafi’ dari Ibnu Umar.”
Ahli hadis berkata, “Riwayat Asy-Syafi’I dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar merupakan silsilatud dzhabi (rantai emas), dikarenakan kecermelangan setiap rawi dari rawi-rawi tersebut.”
Wafatnya Imam Malik
Menjelang wafat, Imam Malik ditanya mengapa ia tak lagi pergi ke
Masjid Nabawi selama tujuh tahun terakhir, ia menjawab, "Seandainya bukan
karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku
tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk
melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini
aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah..." .
Imam Malik wafat pada hari Ahad, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 H (atau
800 M) pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid (Dinasti Abbasiyah) dan
dikuburkan di Baqi’ bersebelahan dengan Ibrahim, putra Rasulullah. Pada saat itu beliau berusia 85 tahun. Beliau
meninggalkan tiga orang putera (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang puteri
(Fatimah). Kini Mazhab Maliki sudah berkembang di beberapa tempat di dunia,
seperti di Mesir, Algeria, Libya, Tunisia dan Andalusia.
Referensi:
Adib Bishri Musthofa: Tarjamah Muwaththa’ Al-Imam Malik r.a, CV. Asy Syifa’, Semarang.
Abdul Aziz Asy Syinawi: Biografi Imam Malik, PT. Aqwam Media Profetika, Sukoharjo.
https://repository.uin-suska.ac.id/8925/3/BAB%20II.pdf
http://repository.uinbanten.ac.id/1783/3/BAB%202.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
(diakses pada 24 Juni 2022)
https://sanadmedia.com/post/biografi-imam-malik-pendiri-mazhab-maliki
Sumber Gambar1: https://sanadmedia.com/post/biografi-imam-malik-pendiri-mazhab-maliki
No comments:
Post a Comment