Friday 5 August 2022

Biografi Imam Syafi'i: Kelahiran, Pendidikan, Guru, dan Karyanya

 


Imam Syafi’i ialah pendiri dari Mazhab Fikih Syafi’iyyah. Nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muttalib bin Abdi Manaf Al-Quraisyi. Nama Asy-Syafi’i disnisbatkan dari kakeknya yang ketiga yaitu Syafi’ bin Sa’ib. Beliau lahir di Gaza pada tahun 150 H (atau 767 M) pada masa Dinasti Abbasiyah bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Fikih Hanafiyyah.

Imam Syafi’i ialah seorang yang berpostur tinggi semampai, seorang penunggang kuda, dan berkulit coklat. Beliau bermuka cerah dan sumringah. Jenggot beliau senantiasa beliau pelihara, sehingga selalu terlihat bersih dan rapi.

Ayah Imam Syafi’i bernama Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib. Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kedua orang tua Imam Syafi’i merupakan keturunan dari bangsawan Arab Quraisy. Nasab dari ayah beliau bertemu pada baginda Rasulullah pada Abdu Manaf. Sedangkan ibu beliau sendiri ialah cicit dari sepupu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib.

 
Lingkungan Tumbuh Imam Syafi’i

Imam Syafi’i kecil lahir di daerah Gaza. Ayah beliau meninggal dunia ketika Imam Syafi’i masih kecil. Kemudian ketika Imam Syafi’i masih berumur 2 tahun ibu beliau membawa Imam Syafi’i kecil ke Mekah, ke tanah para kerabatnya, agar nasab beliau yang mulia tidak hilang (terputus).

Imam Syafi’i kecil hidup dalam keadaan yatim dan serba kekurangan. Namun, hal itu sama sekali tidak menghalangi semangat Imam Syafi’i kecil untuk menuntut ilmu. Sejak kecil, Imam Syafi’i sudah mulai mempelajari Al-Qur’an. Pada umur 7 tahun Imam Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an. Dan pada umur 10 tahun Imam Syafi’i sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik.

Meskipun hidup berkekurangan, Imam Syafi’i muda sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Menurut riwayat, saking semangatnya beliau menuntut ilmu, beliau sampai rela untuk mengumpulkan tulang-tulang, pelepah kurma, dan kertas-kertas yang sudah tidak terpakai yang untuk kemudian beliau gunakan sebagai media untuk menulis ilmu.


Perantauan Imam Syafi’i ke Madinah

Imam Syafi’i terus menuntut ilmu di Mekah kepada para ahli fikih dan ahli hadits yang ada di kota tersebut. Sampai kemudian, pada suatu saat, terdengar olehnya kabar tentang sosok imam besar sekaligus imam ahli hadits dari kota Madinah. Ialah Imam Malik bin Anas. Imam Malik bin Anas merupakan pendiri dari Mazhab Fikih Malikiyyah. Imam Malik bin Anas juga merupakan sosok yang terkenal akan ketinggian ilmunya, terutama dalam bidang ilmu hadits. Hal itulah yang kemudian membuat Imam Syafi’i tertarik untuk bertemu serta berguru secara langsung kepada Imam Malik.

Pada tahun 170 H akhirnya Imam Syafi’i membulatkan tekad untuk berhijrah ke kota Madinah menemui Imam Malik dalam rangka menuntut ilmu. Berbekal surat dari walikota Mekah Imam Syafi’i pun berangkat menuju kota Madinah. Perjalanan dilakukan dalam kurun waktu 8 hari 8 malam. Dan pada jangka waktu itu Imam Syafi’i berhasil mengkhatamkan Al-Quran 16 kali, setiap 1 hari dan 1 malam.

Sesampainya di Madinah Imam Syafi’i diantar oleh walikota Madinah menuju ke rumah Imam Malik bin Anas atas permintaan dari walikota Mekah yang tertulis pada surat tersebut. Pada pertemuan tersebut, dengan lancar Imam Syafi’i membacakan dengan hafalannya kitab Al-Muwatta’ di hadapan Imam Malik bin Anas. Imam Malik merasa heran atas kepandaian Imam Syafi’i serta memuji beliau akan hal itu. Sejak saat itulah Imam Syafi’i mulai berguru dan bergabung di majelis binaan Imam Malik bin Anas di Madinah.

 
Kepemimpinan Imam Syafi’i di Negeri Yaman

Imam Syafi’i berguru pada Imam Malik di Madinah sampai beliau Imam Malik wafat pada tahun 179 H, atau kurang lebih 9 tahun lamanya.

Selepas wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i kemudian memutuskan untuk pindah ke negeri Yaman dikarenakan suatu hal. Pada saat itu, Imam Syafi’i sedang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga beliau harus mencari mata pencaharian baru untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Disaat beliau sedang membutuhkan pekerjaan yang menghasilkan, secara kebetulan Walikota Yaman datang ke Hijaz. Kemudian ada salah seorang yang berbicara kepada wali tersebut agar ia mengajak Imam Syafi’i ke Yaman bersamanya dan hal itu diiyakan oleh sang walikota.

Di Yaman, Imam Syafi’i bekerja sebagai sekertaris negara serta menjadi mufti di sana. Imam Syafi’i merupakan sosok yang sangat tawadhu’. Meskipun sudah menjadi seorang alim yang terkenal akan kepakarannya, beliau tidak segan-segan untuk berguru pada ulama-ulama lain untuk menambah ilmunya. Di Yaman beliau berguru pada Muthorrif bin Mazin; Yusuf Al-Qadhi; serta Yahya bin Husein, seorang ulama besar di kota Shan’a.

Sewaktu di Yaman, beliau juga sempat diberi amanah untuk menjadi seorang pemimpin di daerah Najran. Adapun sifat para penduduk Najran ialah selalu menampakkan sikap kepura-puraan kepada para penguasa dan hakim serta mencari muka dihadapan mereka. Akan tetapi, orang-orang tersebut mendapati keadilan pada diri Imam Syafi’i, sehingga tidak ada jalan bagi mereka untuk mempengaruhi beliau dengan sikap mereka itu.

 
Imam Syafi’i Dipanggil ke Baghdad

Ujian menimpa Imam Syafi’i ketika ia sedang memegang pemerintahan di Negeri Yaman. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 184 H. Pada saat itu Imam Syafi’i dituduh ingin melakukan pemberontakan terhadap Khalifah Al-Rasyid, penguasa Abbasiyah saat itu. Imam Syafi’i sempat ditangkap dan dibawa ke istana Abbasiyah untuk dijatuhi hukuman. Namun berkat hujjah kuat beliau saat melakukan pembelaan, maka qadarullah beliau berhasil dibebaskan dari hukuman tersebut.

 
Belajar Pada Ulama Baghdad

Baghdad ialah ibukota sekaligus pusat peradaban dan pusat keilmuan Islam pada jaman itu. Imam Syafi’i, yang pada saat itu berada di Baghdad tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Di Baghdad, Imam Syafi’i berguru pada Muhammad bin Al-Hasan. Muhammad bin Al-Hasan ialah sahabat dari imam fikih Abu Hanifah. Muhammad bin Al-Hasan juga merupakan orang  yang membantu memberikan kesaksian untuk Imam Syafi’i saat beliau hendak dijatuhi hukuman dari penguasa Abbasiyah.

Kepada Muhammad bin Al-Hasan Imam Syafi’i mempelajari fikih Irak yang secara relatif berbeda dengan fikih Madinah yang pernah beliau pelajari sebelumnya. Di sana Imam Syafi’i juga berdebat 
serta bertukar pikiran dengan Muhammad bin Al-Hasan dan para murid Muhammad bin Al-Hasan.

 
Kembali ke Mekah

Imam Syafi’i tinggal di Baghdad kurang lebih selama 2 tahun sebelum beliau memutuskan untuk kembali ke kota lamanya, Mekah. Di Mekah, beliau aktif mengajar di Masjidil Haram dan berdiskusi dengan para ulama yang ada disana, khususnya pada musim haji dimana para ulama dari penjuru negeri berkumpul di Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

Di Mekah, Imam Syafi’i menetap selama kurang lebih 9 tahun. Dan pada kurun waktu tersebut Imam Syafi’i mulai menyusun kaidah-kaidah fikih untuk menjadi dasar bagi mazhab baru yang akan dibangunnya yang didasarkan pada 2 aliran mazhab fikih yang pernah beliau pelajari sebelumnya, yaitu mazhab Madinah yang didominasi oleh para ahli hadits dan mazhab Baghdad (Irak) yang didominasi oleh para ahli ra’yu (logika).

 
Kunjungan Kedua ke Baghdad

Imam Syafi’i tiba di kota Baghdad untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Beliau tiba di sana dengan membawa metode fikih yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Pada metode baru ini, beliau tidak hanya melihat kepada masalah-masalah juz’iyyah (parsial), akan tetapi beliau juga membawa kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang pokok dan mengikat masalah juz’i (parsial).

Pada kedatangan beliau ini, para perawi menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya beliau menulis kitab Ar-Risalah. Di dalamnya beliau meletakkan asas-asas untuk ilmu ushul fikih. Bisa dikatakan bahwa kitab Ar-Risalah ini merupakan kitab ushul fikih pertama di dunia.

Selain menulis kitab Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga menulis kitab fikih Al-Hujjah. Kitab Al-Hujjah ialah kitab fikih Imam Syafi’i yang beliau tulis sewaktu kunjungan kedua beliau ke Baghdad.

 
Tempat Hijrah Terakhir Imam Syafi’i, Mesir

Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad dan berhijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Mengapa Imam Syafi’i berpindah dari Baghdad yang pada saat itu ialah kota pusat peradaban menuju ke Mesir?

Menurut salah satu pendapat ialah pada tahun 198 H, jabatan khalifah di Dinasti Abbasiyah sedang dipegang oleh Khalifah Al-Makmum yang mana Khalifah Al-Makmum ini lebih condong kepada orang-orang Persia serta memiliki hubungan dekat dengan kaum mu’tazilah. Alasan itulah yang menyebabkan Imam Syafi’i tidak lagi merasa nyaman untuk bertinggal di Baghdad dan kemudian memutuskan untuk berhijrah ke Mesir.

Di Mesir, Imam Syafi’i melakukan pembaharuan terhadap pendapat fikihnya yang lama yang beliau tulis sewaktu masih berada di Baghdad. Imam Syafi’i memilah-milah pendapatnya yang lama dan membandingkannya dengan pendapatnya yang baru. Yang dirasa cocok dipertahankan, yang dirasa tidak cocok dibuang, lalu yang dirasa kurang beliau lengkapi pendapat tersebut. Kemudian terbitlah kitab Al-Umm. Kitab Al-Umm ini ialah kitab fikih karya Imam Syafi’i yang berisi pendapat-pendapat beliau yang baru (qaul jadid) yang merevisi pendapat-pendapat lama beliau sewaktu masih berada di Baghdad yang beliau tulis di dalam kitab Al-Hujjah (qaul qadim).

 
Wafatnya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i wafat pada bulan Rajab tahun 204 Hijriah (820 Masehi) pada umur 54 tahun akibat terkena penyakit bawasir. Penyakit ini dideritanya karena kesibukannya dalam mengadakan dakwah, pengajaran, dan penulisan kitab sewaktu di Mesir. Diceritakan bahwa terkadang jika beliau naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, beliau menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Imam Asy-Syafi’i meninggal pada malam jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada di sampingnya. Jasadnya di makamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan Rajab. Ketika kami pulang dari mengiring jenazahnya, kami melihat hilal bulan Sya’ban tahun 204 Hijriyah”.

Wallaahua’lam.

 
Referensi:

Abdul Aziz Asy Syinawi: Biografi Imam Syafi’i, PT. Aqwam Media Profetika, Sukoharjo.
Munzier Suparta: Ilmu Hadis, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdullah_Muhammad_asy-Syafi%27i (diakses pada 20 Juli 2022)
https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-imam-sayafii-ahlus-sunnah/ (diakses pada 20 Juli 2022)
http://repository.uin-suska.ac.id/7355/3/BAB%20II.pdf (diakses pada 20 Juli 2022)
http://eprints.radenfatah.ac.id/3326/3/BAB%20II%20%282%29%20REVISI.pdf (diakses pada 20 Juli 2022)
http://repository.uinbanten.ac.id/4622/4/BAB%20II.pdf (diakses pada 20 Juli 2022)
http://repository.uinbanten.ac.id/1783/3/BAB%202.pdf (diakses pada 20 Juli 2022)
Sumber Gambar1: https://lumajang.jatimnetwork.com/pendidikan/pr-1803680898/profil-dan-biografi-singkat-imam-syafii (diakses pada 20 Juli 2022)

No comments:

Post a Comment